Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 09 Juni 2013

Sejarah dan Perkembangan Jurnalistik


Sejarah dan Perkembangan Jurnalistik di Dunia

Menurut Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah sangat tua, yaitu dimulai dari Zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak umum dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut Acta Diurna.
Berbeda dengan media berita saat ini yang datang ke rumah kepada pembacanya, pada waktu itu orang-oranglah yang datang kepada media berita atau papan pengumuman itu. Akibatnya ada orang-orang yang datang kesana tetapi ada pula yang enggan meninggalkan rumahnya hanya untuk membaca pengumuman itu.
Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah dan hartawan yang ingin mengetahui informasi yang dipasang di papan pengumuman itu, menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat di Acta Diurna itu. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii, berita Senat sampai ke rumah tuan-tuan tanah dan hartawan tadi.
Dalam perkembangan selanjutnya para Durnarii itu bukan lagi para budak, tetapi juga orang-orang bukan budak yang ingin menjual catatan harian mengenai kegiatan Senat kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan Senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak.
Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu. Pelabuhan dan penginapan didatanginya pula untuk mencari informasi dari para pendatang mengenai kejadian-kejadian di negeri lain.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban sebagai korban-korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung sampai mati atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan. Berita itu adalah rencana kepindahan atau mutasi seorang pembesar yang menurut Caesar belum waktunya diberitakan karna masih dalam pertimbangan. Kalau kepindahan itu akan dilaksanakan, harus hati-hati sekali, jika tidak akan menimbulkan bahaya.
Pada kasus itu, terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di Zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal  yang sifatnya informasi saja. Tetapi dalam perkembanganya, jurnalistik tidak hanya menyebarluaskan informasi, tetapi juga di pergunakan kaum idealis untuk melakukan kontrol sosial melalui tindakan persuasif. Jadi, jurnalistik tidak menyiarkan informasi semata, tetapi juga membujuk dan mengajak khalayak untuk mengambil sikap tertentu agar berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bentuk jurnalistik seperti ini antara lain ditandai dengan adanya tajuk rencana (editorial).

Kegiatan jurnalistik di Romawi akhirnya mengalami kevakuman dan kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak saat itu, penyebabnya adalah runtuhnya kerajaan itu sendiri, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.
Jurnalistik mulai bergairah  kembali ketika surat kabar pertama di dunia terbit. Surat kabar itu bernama Avisa Relation Order Zeitun. Surat kabar ini terbit di Jerman pada 1609,  dan kemudian menyusul surat kabar lain yang  terbit yaitu Weekly News pada 23 Mei 1622 di London. Tetapi surat kabar yang benar-benar terbit secara teratur setiap hari adalah Oxford Gazette yang kemudian diganti menjadi London Gazette. Henry Muddiman sebagai editor pertama surat kabar itu adalah orang yang pertama kalinya memperkenalkan istilah “newspaper” yang digunakan hingga kini.
Dengan munculnya surat kabar yang terbit dengan dicetak secara teratur seperti itu, negara dan gereja mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat pembatasan yang melarang diberitakannya hal-hal yang merusak norma (pernicious) , subversif (subversive), menghina (blasphemous) dan lain-lain yang menurunkan derajat manusia. Pembatasan ini mengundang tantangan dan protes. Sebagai contoh di Inggris pada tahun 1644 tampil John Milton yang memperjuangkan kebebasan pers, tekenal dengan areopagitica, a defence of unlicenced printing.
Kebebasan pers menurut John Milton ialah kebebasan menyatakan pendapat. Meskipun sikap John Milton itu tidak merupakan pernyataanyang lengkap mengenai kebebasan berbicara dan kebebasan pers, namun pada waktu itu merupaksnargumen hebat terhadap kekuasaan otoriter.
Sikap John Milton itu kemudian menimbulkan pengaruh besar dalam perkembangan jurnalistik, terutama sejak abad ke-17. Hal ini dibuktikan bahwa sejak itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita yang bersifat informatif, tetapi juga yang opinionatif, bukan saja memberitakan hal-hal yang terjadi kepada khalayak, tetapi juga memengaruhi pemerintah dan masyarakat. Sejak itu, fungsi pers bertambah dari “to inform” dengan “ to inflience”. Kepeloporan John Milton dalam memperjuangkan kebebasan pers pada abad ke-17 itu diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul “The Rights of Man”.

Pada abad ke-18 itulah terjadi peralihan sistem pers dari pers otoriter (authoritarian press) ke sistem pers liberal. Ada dua penunjang utama pada abad ke-18 itu untuk mengembangkan prinsip-prinsip liberal yang dipengaruhi oleh pers yaitu:
1.    Perjuangan yang berkaitan dengan fitnah yang bersifat mengahasut (seditious libel).
2.    Perjuangan yang berkaitan dengan hak pers untuk menyiarkan kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Pemerintah Inggris pada saat itu giat mengadakan pengawasan terhadap kritik yang di lakukan secara terbuka kepadanya dengan jalan penuntutan-penuntutan terhadap fitnah yang menghasut. Pemerintah inggris ingin mengendalikan pers agar tidak mengganggu khalayak. Tetapi akhirnya prinsip liberal ini mencapai kemenangan dengan dapat terbitnya kebenaran di inggris yang di bela oleh parliamentary act, sehingga pers menjadi lebih leluasa dalam menyiarkan beritanya.
Pers di akui sebagai pejuang yang aktif dalam mengembangkan prinsip kemerdekaan. Dalam rangka pembinaan dasar teoretis untuk konsep modern mengenai kebebasan menyatakan pendapat, pers telah mengembangkan apa yang disebut ”the theory of objective reporting” untuk memenuhi fungsinya sebagai media informasi.
Teori yang timbul pada abad ke 19 di Inggris dan Amerika serikat di awal abad ke 20 itu diakui sebagai sumbangan yang unik kepada jurnalistik di kedua negara tersebut. Perkembangan jurnalistik seperti itu di amerika dapat di telusuri pada perkembangan kantor-kantor berita yang memasukan beritanya kepada surat kabar lokal dengan informasi-informasi yang di peroleh dari negara-negara bagian, pemerintah federal dan sumber sumber internasional.
Menyebarnya objective reporting sebagai media informasi pada jurnalistik di seluruh Amerika Serikat itu semakin diperluasoleh menurunnya keterlibatan pers dalam arena perjuangan politik dan beralihnya surat kabar dari “opinion journal” ke “ news medium”. Para wartawan lebih bersikap sebagai penonton  daripada ikut terlibat dalam berbagai pertentangan yang terjadi sehari-hari. Di kalangan wartawan Amerika objective reporting menjadi kebanggaan profesi yangberpegang teguh pada pendiriannya bahwa melaporkan fakta adalah satu-satunya tugas mereka opini dipisahkan secara tajam dari fakta dan opini hanya dituangkan dalam tajuk rencana. Tetapi tahun-tahun berikutnya, objective reporting itu mendapat keritik yang pedas atas dasar bahwa cara penulisan berita seperti itu mengabaikan pengutaraan seluruh kebenaran dan gagal dalam menyajikan berita kepada para pembaca atas dasar yang cukup untuk menilai berita dalam hubungannya dengan tujuan sosial.
Akibatnya pada abad ke-20 itu sistem pers berubah lagi dari pers liberal ke pers tanggung jawab sosial. Fungsi pers teori tanggung jawab sosial sebenarnya sama dengan pers yang menganut teori liberal, yang secara tradisional mencakup hal- hal:
1.    Mengabdi pada sistem politik dengan menyajikan informasi, diskusi dan debat mengenai persoalan-persoalan umum.
2.    Memberi penerangan kepada khalayak sehingga menimbulkan kemampuan untuk berpemerintahan sendiri.
3.    Melindungi hak-hak perorangan dengan mengabdikan diri sebagai penjaga menghadapi pemerintah.
4.    Mengabdi sistem ekonomi terutama menghubungkan para pembeli dan penjual barang dan jasa melalui periklanan.
5.    Menyajikan hiburan.
6.    Memelihara cukupnya kebutuhan dalam hal financial sehingga bebas dari tekanan-tekanan pihak tertentu.

Teori pers tanggung jawab sosial pada umumnya menerima keenam fungsi itu, tetapi ia merefleksikan ketidakpuasannya terhadap interpretasinya mengenai fungsi-fungsi itu oleh para pengusaha pers dan terhadap cara-cara yang dilakukan oleh pers.
Selain ketiga teori pers diatas, yaitu pers otoriter, pers liberal, dan pers tanggung jawab sosial ada satu teori pers lagi yang berkembang di Uni Soviet, yang di sebut teori pers komunis soviet.  Namun dengan runtuhnya uni soviet, maka teori pers ini sekarang lebih tepat di sebut teori pers komunis.
Teori pers komunis  menempatkan pers sebagai alat partai politik yang berkuasa. Teori pers komunis muncul untuk menentang teori pers bebas dan tanggung jawab sosial. Menurut orang-orang komunis, pers bebas terlalu komersial dan tidak bebas karna dikuasai oleh kaum kapitalis.
Semua teori diatas berkembang di seluruh dunia, dimana ada kehidupan pers. Termasuk di Indonesia, yang memang persnya juga sudah berkembang cukup lama.





Sejarah Pers di Indonesia

Pers Zaman Kolonial dan Pers Setelah Merdeka

Di Indonesia, pers mulai dikenal pada abad ke-18, tepatnya tahun 1744 ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvellis terbit dengan pengusaha orang-orang Belanda. Kemudian di Jakarta terbit Vendu Niews tahun 1776 yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Ketika memasuki abad 19, terbit surat kabar lainnya yang semuannya diusahakan oleh orang Belanda untuk para pembaca Belanda dan segelintir kaum pribumi yang mengerti bahasa Belanda. Semua surat kabar ini hanya menyuarakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian media massa yang di kelola oleh pribumi mulai dengan terbitnya majalah Bianglala tahun 1854 dan Brumartani tahun 1885, keduanya di weltevreden. Selain itu pada tahun 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Sejak saat itu bermunculan surat kabar dengan pemberitaannya yang bersifat informatif sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan. Umumnya media pribumi menggunakan nama-nama seperti “Cahaya”, “Sinar”,”Terang”, dan nama-nama lain yang diharapkan membawa harapan bagi kemajuan dan pembebasan penjajahan misalnya “Tjahaja Siang”, “Tjahaja Indah”, “Thahaja Moelia”, dan lain-lain.
Umumnya media itu terbit di pulau Jawa. Ini karna percetakan sebagai sarana yang sangat vital untuk menerbitkan media, fasilitas-fasilitas lainnya kebanyakan teradapat di pulau Jawa. Itulah sebab pers di luar Jawa terlambat berkembang. Di Padang misalnya, muncul penerbit pertama kalinya Pelita Kecil tahun 1882 dan Partja Barat tahun 1892 itupun keduanya diterbitkan oleh orang asing.
Kaum pribumi kemudian mulai banyak yang menerbitkan media sendiri pada awal abad ke-20. Misalnya terbit “Medan Prijaji” yang terbit di Bandung. Media ini dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Mulanya media ini tahun 1907 berbentuk mingguan, kemudian menjadi harian pada 1910. Tirto Hadisurjo kemudian dikenal sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan sebagainya.
Pers yang dikelola oleh pribumi makin berkembang setelah lahir organisasi massa dan gerakan kebangsaan dan keagamaan yang turut menerbitkan media, karna media itu menjadi alat perjuangan mereka. Akibatnya media massa ini menyatu dengan perjuangan organisasi dan gerakan kebangsaan, sehingga jatuh bangun sesuai dengan jatuh bangunnya organisasi perjuangan itu. Itu sebabnya boleh dikata para pemimpin bangsa ini pernah berkecimpung di dunia pers, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Moh. Yamin, Agus Salim, dan lain-lain.
Setelah Indonesia merdeka, kehidupan pers ikut menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan. Media massa pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan, misalnya di Jakarta terbit Merdeka pada 1 Oktober 1945. Di Jogjakarta terbit Kedaulatan Rakyat tahun 1945, di Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan lain sebagainya. Selain itu, partai-partai politik terutama sejak 1950 berlomba-lomba menerbitkan media, seperti Masjumi memiliki Harian Abadi, PNI memiliki Suluh Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama memiliki Duta Masyarakat, PKI memiliki Harian Rakjat, PSI memiliki Pedoman.


Pers Pada Masa Orde Baru dan Sekarang

Pada masa orde baru, pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila. Cirinya adalah bebas bertanggung jawab.  Prinsip pers yang bebas bertanggung jawab itu ditegaskan oleh ketetapan MPRS No XXXII/MPRS/1966. Dalam Tap MPRS ini disebutkan bahwa kebebasan pers berhubungan erat dengan keharusan adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepentingan rakyat dan keselamatan negara kelangsungan dan penyelesaianrevolusi hingga terwujudnya 3 kerangka tujuan revolusi hingga terwujudnya refolusi moral dan tata susila dan kepribadian bangsa. Kemudian dalam undang-undang No 11 tahun 1966 tentang ketentuan ketentuan pokok pers disebutkan bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dan didasarkan pada tanggung jawab nasional.
Selanjutnya pers yang bebas dan bertanggung jawab ditetapkan dalam GBHN (Tap MPR No IV Tahun 1973 dan Tap MPR No III Tahun 1983) yang menegaskan pers bebas dan bertanggung jawab sebagai pers yang sehat, yaitu pers yang menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar. Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers. Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia PWI tahun 1946. Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan digunakan sebagai perisai bagi rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang. Dengan kemerdekan pers terjadilah chek and balance dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Kemerdekaan pers berhasil diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Daftar Pustaka

Tebba, Sudirman. 2005. Jurnalistik baru. jakarta. Ciputat: kalam Indonesia
Barus, Sedia willing. 2010. Jurnalistik petunjuk teknis menulis berita. Jakarta: Erlangga
Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalisme dasar. Jakarta: Buku kompas
Wikipedia. Pers. Indonesia(http://id.wikipedia.org/wiki/Pers_Indonesia, di akses 11 maret 2013)


sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar